Selasa, 01 Oktober 2013

Where Will I Go From Here?


"...dan pasti lo jalan dengan tas lo cangklongin cuma sebelah, dan jalan agak ke pinggir ya? hahaha.

Bener loh, men! rasanya pasti beda antara lo make tas dicangklong semua sama cuma sebelah. Dan di psikologi itu benernya punya arti sendiri-sendiri.

Dan kalo selama ini lo merasa wajar, itu berarti emang itu yang paling enak buat lo, dan itu berarti lo orangnya emang kaya gitu bro! Haha"

"Kaya gimana sih so? Aing kaga mudeng.."

"Gw yakin pasti lo benernya ngerti. Hahaha"

Itulah secuplik percakapan gw sama sohib karib gw yang emang suka ngomong hal-hal yang aneh (meskipun gw akui dia orang yang ga bisa ngebohong), yang sempat bikin gw pusing tujuh puluh tujuh keliling, penasaran akan apa yang dia kamsud.. till I thought I have finally have a lil' grasp of it.

Sebenarnya minggu lalu udah sekitar tiga kali gw keliling Bandung, nyoba cari-cari objek buat sketsa yang baru. Dan karena pencarian ini ga mungkin dilakukan diatas motor, maka gw jalan kaki. Dan kadar jalannya barangkali bisa dibilang ga kira-kira: pada kesempatan terakhir gw jalan dari stasiun KA sampe deket Tegalega, mampir jalan Cibadak, menyusuri Otista back and forth. Jalan.

Dan pada kesempatan gw cerita ke temen gw mengenai perjalanan itulah, cuplikan percakapan diatas terjadi. Harus gw akui, akhir-akhir ini gw jadi sering jalan. Dibanding naik sepeda atau motor, gw akhir-akhir ini lebih milih jalan. And only after I talked to my friend about that, I finally realized why.

Dengan naik motor atau sepeda, setiap pemandangan yang terhampar didepan mata dapat dengan cepat melesat begitu saja. No chances to notice something unique, no chances to see something that makes us think, no chances to observe different kinds of humans, walking with their own life...

Tapi dengan jalan, semua itu dapat kita amati, dan sambil jalan itu juga kita punya kesempatan untuk mencerna dan memikirkan hal-hal yang kita temui di sepanjang jalan. Dan temen gw juga menyadarkan gw:

"pasti waktu jalan, pikiran lo kemana-mana kan!"

That's damn right. Ya, ini bukan sekedar soal cari-cari objek buat di sketsa. Dengan jalan, gw merasa lebih leluasa untuk memikirkan berbagai hal, gw merasa bisa lebih dekat dengan diri sendiri, gw merasa lebih.. independen. Dengan jalan, gw merasa seluruh kenyataan kehidupan bisa terhampar di depan mata gw, tanpa gw harus merasa terlibat di dalamnya. Yeah, just like a distant observer over a different world, every moment I can notice something new.


Bagian yang aneh dari percakapan dengan temen gw ini adalah bahwa cara gw memanggul tas sedikit banyak mempengaruhi juga. Dia membayangkan gw waktu jalan make tas dicangklong cuman sebelah, dan itu benar. What I can't comprehend is that he can associate this with my personality, my state of mind right now.


Argumen dia adalah, betapapun kondisi beban yang gw pikul dan pilihan cara membawa yang ada (misal kalo emang relatif berat, ga ada pilihan lain selain mencangklong di kedua pundak), kenyataan bahwa gw lebih memilih cangklong tas di satu sisi aja tiap kali keadaan memungkinkan, sebenarnya menggambarkan sifat gw, sadar ato enggak.

Dan lebih jauh ia mencoba mengkonfirmasi, bahwa dengan mencangklong tas seperti itu, gw merasa lebih mudah memikirkan berbagai hal dan mengamati berbagai hal sepanjang perjalanan, dibanding mencangklong tas di kedua pundak. Dan harus gw akui gw rasa hal itu benar, betapapun absurd kedengarannya.

Berkali-kali gw tanya sifat atau hal apakah dari gw, kemudian, yang bisa digambarkan dari sifat memakai tas itu, dan berkali-kali dia bilang bahwa, jauh di dalam, gw benernya tau, karena gw yang merasakan sendiri. Dan saat gw berkutat dalam kepusingan mencerna premis yang absurd ini, dia memberi dua kata kunci:

"Journey" dan "Loneliness"


Bahkan kedua kata kunci itupun menurut dia sebenarnya kurang menggambarkan juga; salah satu analogi yang dia tawarkan adalah "the feel of being alone in the crowd", bahwa dengan memakai tas seperti ini gw bisa dibilang suka wandering, suka dengan perjalanan sendiri; "loneliness" sendiri bukan artinya merasa kesepian, tapi justru merasa enjoy dengan diri sendiri: kesendirian dalam perjalanan yang nikmat, sebuah perasaan akan tranquility; peace in mind because of the silent journey amidst all the noise of the outside world.

Bahwa gw suka membiarkan pikiran menjelajah ke berbagai tempat, sebenarnya sudah bukan hal baru; gw menyadari hal itu sejak lama. Dan setelah percakapan itulah gw baru inget akan suatu gambar yang sebenarnya telah gw buat 4 tahun lalu, gambar yang ada di bagian awal post ini. Judulnya ialah "I Still Can't Beat the Great Wide Open", dan gw gambarkan si pengembara membawa tas di sebelah kanannya...

Terlepas dari ide absurd bahwa cara memakai tas menggambarkan keadaan hati seseorang, nggak bisa dipungkiri bahwa gw, more or less, a wanderer dreamer.

Inside this lazy body is a wanderer..who just can't stand to take a break from a fast journey to walk with calm paces, to be amused by whatever scenery the world have it laid upon his eyes. And, deep inside his eyes, is a desire to roam the world and see as many truth as he can.

I dream of Saami tribesmen living their life in the deep woods of Sweden; I dream of Khitai families, with their yurts, herding their horses in the vast plains of Mongolia; I dream of Basque people of the Pyrenees; I dream of Tunisian Berbers riding their camels through Northern Saharan Desert; I dream of a Bushmen hunter taking aim of a gazelle in the wilderness of Kalahari; I dream of Caucasians herding their goats in the southern end of Ural Mountains; I dream of European explorers roaming through Taklamakan desert in search of Silk Road's hidden cities; I dream of an Ute scout running through the woods of New England; I dream of Andean farmers offering their goods in a busy market in one of those highland towns in Peru; I dream of some Inuit fishing a whale in the ice-cold waters of Arctic Ocean; I dream of nomadic Cossacks riding their horses in the great tundra of Siberia; I dream of a tranquil Buddhist monk feeding a tiger on a veranda of a temple in Tibet; I dream of an Iranian Sufi living a secluded life on the mountains of Transoxiana; I dream of a Highland Clansmen blowing his bagpipe on the edge of one of those rugged inlets of western Scotland; I dream of a group of Icelandic people partying, eating their shares of fermented shark's meat; I dream of Ainu people with their elaborate handcrafts in rural Hokkaido; I dream of ancient cave-villages which are still occupied in the rocky region of Cappadocia; I dream of many Polynesian canoes sailing on the waters of Pacific Ocean; I dream of lonely, desolate, wide Route 66 Highway across the American Midwest; I dream I'm on this neverending journey to see all this world, all alone, all by myself; always an observer, never a participator; always perceiving, never judging; forever amused.

I think, as much as I am an idealist is as much as I am a dreamer; no matter how hard I want to keep myself real, in some chances, this mind will always makes way for a wandering; though only in a dream.

If only it was real.


Where will I go from here?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar